Dedi Mulyadi Pertegas Konsep Pembangunan Berbasis Budaya

Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi memperjelas konsep pembangunan berbasis budaya yang dibawanya selama menjabat dua kali periode.

Orang nomor satu di Purwakarta itu menerangkan, ihwal konsep pembangunan Salapan Lengkah Ngawangun Nagri Raharja dan Sembilan Langkah Menuju Purwakarta Istimewa yang dibawanya saat menjabat di periode 2008-2013 dan 2013-2018 dalam orasi ilmiah pada momentum Maulid Nabi yang dihadiri Ketua Umum PB NU KH Said Aqil Sirojdi Bale Pendopo Purwakarta, Senin (14/12).

Konsep Purwakarta Kota Tasbeh yang saat ini kembali digaungkan oleh kelompok masyarakat di Purwakarta tidak bisa digeneralisasi sebagai konsep tasbeh dalam makna suci. Akan tetapi, Purwakarta Tasbeh yang dibawakan bupati sebelumnya merupakan konsep yang dituangkan dalam sebuah singkatan.

“Tasbeh itu singkatan. Tasbeh bukan dalam artian konstektual, tetapi hanya sebatas singkatan dari kepala daerah sebelumnya. Tasbeh diartikan sebagai tertib, aman, sehat, bersih, elok, hidup. Dan terbukti saat Purwakarta berkonsep Tasbeh banyak persoalan yang belum selesai. Pada saat Purwakarta Tasbeh, prostitusi Cilodong beroperasi bebas. Hanya sama orang “kafir” Cilodong bisa tertib. Saat Purwakarta Tertib, RSUD jadi Bayu Antep, bukan Bayu Asih,” jelas Bupati Dedi di hadapan unsur pejabat dan masyarakat umum.

Menurutnya, tatar Sunda sudah mengajarkan nilai kebaikan. Di Sunda tidak menerima masyarakat lokal maupun pendatang yang berbuat kriminal. Semisal di Purwakarta, tidak menerima pemabuk dan dipersilahkan keluar Purwakarta. Dedi Mulyadi meyakini, daerah lain pun sama tidak akan menerima individu yang berbuat melanggar hukum.

“Di Sunda ditolak, karena tidak boleh mabuk, di Jawa pun sama karena tidak diterima. Akhirnya konsep ini menusantara. Di Purwakarta, sanksinya jika terjadi kasus kriminal, gaji RT setempat ditahan selama tiga bulan,” ujar Dedi.

Termasuk Dedi Mulyadi mengklarifikasi soal ikat kepala yang dipakai dan dipermasalahkan. Dedi menilai, ikatnya bukan ikat hindu, tetapi ikat nusantara. Termasuk, ikat kepala yang dipakai oleh masyarakat Bali bukan ikat Hindu tetapi iket bali. Karena sepehaman Dedi Mulyadi, umat Hindu tidak pernah memakai ikat kepala.

“Ikat yang dipakai saya ini sebagai simbol monoteisme. Seperti halnya filosofis orang Sunda yang selalu menyembah Tuhan yang tunggal. Simbol tersebut juga diperjelas dengan bentuk cetok, gunung dimana bawahnya luas semakin keatas semakin runcing. Ini simbol penyembahan tuhan. Saya tegaskan, yang merubah pikiran kita ini adalah kebudayaan dan konstitusi pancasila segala-galanya, sebagai alat kekuasaan yang saya miliki,” tandas Dedi Mulyadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *