Pasal 158 Undang-Undang Pilkada Perlu Direvisi

Pasal 158 Undang-Undang Pilkada Perlu Direvisi

Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie, menyebutkan bahwa ketentuan dalam Pasal 158 Undang-Undang Pilkada perlu direvisi.

“Jadi memang perlu direvisi, jangan terlalu ketat dan kaku,” ujar Jimly ketika ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis.

Hal itu dikatakan oleh Jimly ketika disinggung mengenai banyaknya permohonan perkara sengketa Pilkada Serentak 2015 yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, karena tidak memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 158 Undang Undang Pilkada.

Adapun pasal tersebut berisi tentang ambang batas selisih perolehan suara antara pemohon dengan pihak terkait atau pasangan calon peraih suara terbanyak.

Jimly selaku Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyatakan bahwa memerlukan pengalaman bagi partai-partai penyelenggara untuk menyadari bahwa pasal yang terlalu ketat akan berakibat tidak baik.

“Bisa disalahgunakan kalau terjadi pelanggaran sistematis tapi dia di atas ambang batas, itu tidak bisa di koreksi,” kata Jimly.

Pada Kamis (21/1) Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pleno dengan agenda putusan perkara sengketa Pilkada serentak 2015, yang merupakan rangkaian sidang pengucapan putusan.

Sejak pukul 09.00 hingga pukul 16.00 pada Kamis (21/1), tercatat 16 perkara sengketa Pilkada serentak 2015 ditolak permohonannya oleh Mahkamah karena tidak memenuhi Pasal 158 Undang Undang Pilkada, terkait dengan ambang batas selisih perolehan suara.

Sebelumnya pada Senin (18/1) Mahkamah menyatakan bahwa 35 perkara tidak dapat diterima oleh Mahkamah karena melampaui tenggang waktu pengajuan permohonan, atau tiga kali 24 jam sejak SK KPU ditetapkan.

Di dalam Pasal 158 Ayat (1) dijelaskan bahwa provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.

Sementara provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU Provinsi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed