Memastikan Golkar Mendukung Ahok

Memastikan Golkar Mendukung AhokDengan mendukung Jokowi, Partai Golongan Karya (Partai Golkar) melakukan manuver cantik setelah selama tiga kali Pemilu kehilangan daya tarik. Selain karena sebagai partai penguasa Orde Baru (Orba) yang rezimnya ditumbangkan oleh Orde Reformasi, Golkar juga terlanjur salah langkah di arena papan catur politik tanah air.

Demikian dikatakan oleh pengamat dari Universitas Trisakti, Rama Yanti dalam siaran persnya kepada redaksi, Kamis (19/5).

“Kita kilas balik sejenak ke belakang, pada awal-awal Orde Reformasi (kalau boleh diberi nama itu, mengikuti alur  penamaan rezim mulai dari Orde Lama ke Orde Baru), tahun 1998 saat rezim Orba tumbang ditandai dengan mundurnya tokoh sentral masa itu yaitu Soeharto, partai berlambang pohon beringin itupun terkapar secara politik,” ujarnya.

Lanjut dia, sadar tidak sadar, diakui atau tidak diakui, Golkar menjadi musuh bersama. Bahkan menjadi musuh para reformis. Penguasa awal Orde Reformasi waktu itu Presiden Abdurrahman Wahid (Dus Dur) menyatakan Golkar dibubarkan. Namun waktu itu Gus  Dur salah memainkan pedang politiknya, tidak hanya Golkar  yang digorok tapi DPR pun disembeleh. Kyai besar itu lupa bahwa saat itu presiden adalah mandataris Musyawarah Perwakilan Rakyat (MPR) atau dengan kata lain presiden dipilih oleh anggota MPR di Senayan yang anggotanya sebagian besar anggota DPR juga. Maka, DPR melalui MPR melakukan perlawanan, mandat MPR dicabut. MPR lalu memilih yang tadinya wakil presiden menjadi Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz.

“Hamzah Haz adalah tokoh PPP. Partai yang sudah hidup di masa Orde Baru dan menjadi bagian dari Orde Baru. Ketika Orba berkuasa hanya ada tiga partai yaitu Golkar (partai terbesar dan partai penguasa yang didalamnya ada tiga unsur yaitu ABRI di jalur A, Birokrat atau PNS di jalur B dan ormas pendukung di jalur G), PPP di urutan suara terbanyak nomor dua dan PDI sebagai partai dengan jumlah suara terkecil. Selalu urutannya seperti itu selama berkali-kali Pemilu,” terangnya.

Menurutnya, sampai pada tahap ini Golkar masih tertimbun reruntuhan Orba. Jagoan-jagoan Golkar saat itu tidak bermunculan, tiarap setiarap-tiarapnya berusaha agar tidak terlihat, dengan harapan agar orang-orang melupakannya sebagai penguasa Orba.

“Lambat laun seiring dengan berjalannya waktu, dan tensi politikpun sudah tidak panas lagi. Khalayak pun sudah tidak perduli lagi itu partai apa dan dari mana, Golkar pun kembali menggeliat bersama dengan bertumbuhannya banyak partai politik (Parpol). Di sisi lain sejumlah orang Golkar pun mendirikan partai baru, seperti Wiranto mendirikan Hanura (Hati Nurani Rakyat), Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), Soesilo BambangYudhoyono mendirikan Partai Demokrat (PD) dan Surya Paloh mendirikan Partai Nasdem (Nasional Demokrat). Semasa Orba,Prabowo, Wiranto, dan SBY di Golkar berada di jalur A karena sebagai prajurit ABRI (sekarang TNI), Surya Paloh di Golkardari jalur G karena berasal dari organisasi kepemudaan sebagai tokoh FKPPI. Dan karena Yusril Ihza Mahendra yang waktu itu sebagai birokrat, mungkin di Golkar dia berada di jalur B. Belakangan dia mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB),” paparnya.

Ia berpendapat, sebagai partai besar, selama tiga kali Pemilu pada Orde Reformasi, Golkar tidak pernah lagi mendapat suara terbanyak. Konsekuensinya tidak bisa membawa tokohnya menjadi presiden. Berbeda dengan Partai Demokrat, karena dua kali menang, maka tokoh dari PD pun menjadi Presiden RI dua periode (2004 dan 2009). Lalu pada Pemilu 2014 PDIP memperoleh suara terbanyak dan kadernya pun menjadi Presiden.

“Pertanyaan besarnya adalah mengapa Golkar yang penuh dengan tokoh-tokoh politik berpengalaman, tidak sanggup bangkit pada Pemilu 2014? Seharusnya berkaca pada peristiwa dua kali kali Pemilu sebelumnya, yaitu Parpol menjual tokoh. Tokoh yang laku keras dijual pada Pemilu 2004 dan 2009 adalah SBY. Maka jawaban besarnya adalah Golkar salah jalan. Pada Pemilu 2014, Golkar masih bergaya priyai dengan menjual nama tokoh besar yang dianggap priyai pula. Sementara rakya menghendaki tokoh yang gaya-gayanya mirip rakyat dengan sentimen emosi ‘dia adalah saya’. Itulah yang kemudian pada masa-masa menjelang akhir kampanye Pemilu 2014 PDIP buru-buru menurunkan baliho Megawati/Puan Maharani, iklan, spanduk, dan stiker-stiker diganti atau ditambahkan dengan gambar Joko Widodo (Jokowi),” paparnya.

Dikatakan lebih lanjut oleh Rama Yanti, motto suara Golkar adalah suara rakyat, tidak mampu merebut suara rakyat terbanyak. Tapi itulah, politik adalah sebuah permainan. Dimana seni bermain harus sejalan dengan akal sehat.Seni bermain yang mengikuti akal sehat sekarang mulai dilakukan oleh Golkar sejak kursi Ketua Umum diduduki oleh Setya Novanto (Setnov). Dengan tidak malu-malu, tanpa sungkan, dan keraguan, Setnov menyatakan Golkar sepenuhnya mendukung Jokowi. Bahkan melangkah lebih jauh lagi melewati siapapun, Setnov mengumandangkan pernyataan besar, mendukung Jokowi untuk 2019. Saat ini Jokowi adalah tokoh yang sangat laku dijual. Kalkulasinya, Golkar pasti bakal memetik keuntungan besar dengan pernyataan itu.

“Seiring dengan itu, Golkar pun di tangan Setnov, pasti tidak  mau mati konyol di Jakarta. Tokoh yang paling disukai rakyat saat ini adalah Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Maka sebentar lagi, mendahului PDIP, Golkar pasti akan menyatakan Golkar mendukung Ahok. Kalkulasinya adalah Golkar ingin mendapat suara banyak di Jakarta. Jadi tidak penting lagi siapa calon yang akan diusung untuk Pilkada DKI 2017. Penyataan itu adalah selaras dengan pernyataan mendukung Jokowi untuk 2019. Goal yang ingin didapatkan adalah dengan penyataan mendukung kedua tokoh itu, Golkar akan meraup suara banyak pada Pemilu 2019,” tandasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed