Kinerja Penegak Hukum Tangani Korupsi Menurun

Kinerja Penegak Hukum Tangani Korupsi MenurunIndonesia Corruption Watch (ICW) menilai kinerja penegak hukum dalam menangani kasus korupsi pada semester satu 2016 anjlok. Tak cuma jumlah kasusnya, jumlah kerugian negara dan jumlah tersangka yang dijerat juga menurun.

“Merosotnya agak signifikan. Penurunan terjadi pada sisi nilai kerugian negara, jumlah kasus, dan jumlah tersangka,” kata staf divisi investigasi ICW Wana Alamsyah di Kantor ICW, Jakarta, Minggu (28/8).

Dalam catatan ICW, pada semester satu 2016 penegak hukum menangani 210 kasus. Jumlah ini menurun dibanding periode yang sama tahun lalu dengan jumlah 299 kasus.

Nilai kerugian negara pada semester satu tahun ini sebesar Rp890,5 miliar, berkurang dibanding 2015 dengan total Rp3,919 triliun. Jumlah tersangka yang ditetapkan tahun ini sebanyak 500 orang sedangkan semester satu tahun lalu berjumlah 596 orang.

ICW menduga penurunan ini bisa disebabkan anggaran yang menurun, ketidakmampuan petugas, dan kontribusi Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Proyek Strategis Nasional (Inpres Antri Kriminalisasi).

ICW menyebut ada dua poin dalam Inpres tersebut yang dapat menghambat penyelidikan. Pertama, jika melibatkan pejabat harus melapor terlebih dahulu ke pimpinan terkait. Hal ini menurut ICW, berpotensi tindak pidana korupsi diselesaikan secara “adat” atau internal. Kedua, adanya poin untuk tidak mempublikasikan ke punlik. Ini menghambat pemantauan yang dapat dilakukan masyarakat.

Sementara untuk lembaga penegak hukum, ICW memantau kinerja mereka dengan indikator kasus yang sudah naik dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Pantauan dilakukan terhadap Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kejaksaan menangani 133 kasus dengan kerugian negara sebesar Rp473 miliar dan nilai suap Rp14 miliar. Sementara Kepolisian 59 kasus dengan kerugian negara Rp252,5 miliar. KPK tercatat menangani 18 kasus dengan kerugian negara Rp164 miliar dan nilai suap Rp28 miliar, Sin$1,6 juta, dan US$72 ribu.

Modus yang paling sering terhadi selama semester satu 2016 adalah penggelapan sebanyak 70 kasus, disusul kegiatan atau proyek fiktif dengan 34 kasus dan penyalahgunaan anggaran 25 kasus.

Dalam pananganannya, penegak hukum 88 persen mengenakan pasal jenis korupsi kerugian uang negara sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Juncto UU 20/2001 Tentang Tindak Pindaha Korupsi. Kemudian diikuti dengan pasal suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, dan pemerasan.

Kasus korupsi yang masuk dalam tahap penyidikan pada semester I 2016 berdasarkan sektor paling banyak di keuangan daerah, pendidikan, transportasi, sosial kemasyarakatan, dan kesehatan.

“Sektor keuangan daerah menjadi sektor yang paling rentan di korupsi dengan 34 kasus. Sektor pelayanan publik menjadi sektor kedua yang rentan dikorupsi,” tutur Wana.

Berdasarkan kategori infrastruktur dan noninfrastruktur, sebanyak 147 kasus dengan merugian negara Rp404 miliar merupakan noninfrastruktut. Kategori infrastruktur tersapat 63 kasus dengan kerugian negara yang jauh lebih besar dibanding non infrastruktur yakni Rp486,5 miliar.

Wana mengatakan hal ini disebabkan karena anggaran infrastruktur lebih besar dibandingkan dengan non infrastuktur, sehingga nilai kerugian negara lebih besar meski jumlah kasus lebih sedikit.

Di semester satu ini, kasus korupsi paling besar terjadi di daerah sebanyak 97 persen, sementara di tingkat nasional hanya lima kasus. Provinsi yang paling banyak menindak lanjuti kasus korupsi adalah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Berdasarkan lembaga, mayoritas korupsi terjadi di birokrasi daerah yakni 69 persen.

ICW menyoroti pengelolan anggaran atau kewenangan di kementerian masih sedikit diungkap, menurut ICW aparat penegak hukum lebih banyak menyidik kasus di lembaga nonkementerian.

Pelaku korupsi yang masuk tahap penyidikan berdasarkan jabatan sebanyak 217 orang merupakan birokrat daerah, 107 orang direktur, komisaris, konsultan, atau pegawai swasta. Anggota DPR/DPRD/DPD berjumlah 24 orang, direktur, pejabat, pegawai BUMN/BUMD dengan julan 14 orang. Sementara kepala daerah sebanyak tujuh orang, semuanya merupakan bupati.

183 Kepala Daerah Diproses oleh Penegak Hukum

Selama 2010-2015 tersapat 183 kepala daerah yang diproses oleh aparat penegak hukum. Sebanyak 110 orang diantaranya merupakan bupati.

ICW menilai masih banyak kepala daerah lain yang terlibat tindak pindana korupsi. ICW meminta agar penegak hukum juga perlalu memantau kepala daerah yang menerima uang. Penegak hukum juga perlu melakukan upaya preventif terhadap kepala daerah karena pola korupsinya hampir sama.

“Pola korupsinya tak jauh-jauh dari izin seperti hutan, tambang, dan kebun. Kepala daerah juga menerima uang proyek rata-rata 7-15 persen. Ini harusnya masuk radar juga,” kata Program Manager Divisi Investigasi ICW Febri Hendri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed