Partai Petahana Tumbang di Pemilu 2019

adang-taufik-hidayatPertarungan pada pemilihan kepala daerah DKI Jakarta merupakan momentum bagi parpol dalam melaksanakan pesta demokrasi. Dapat dinilai pilkada DKI pada tahun ini menjadi pusat perhatian politik yang serius dalam memenangkan calon-calon terbaik yang akan menduduki posisi DKI 1 dan DKI 2.

Banyak juga yang menilai bahwa pilkada DKI ini serasa pemilihan Presiden (Pilpres) karena disebabkan semua tokoh, pakar dan para pentolan partai turun gunung dalam membuat strategi untuk meraih kemenangan.

Meskipun dalam Pilkada DKI 2017 memunculkan 3 pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur Ahok-Jarot, Agus-Silvy dan Anis-Sandiaga tetapi dalam peta politik yang terlihat bisa saja pasangan yang benar-benar bertarung dalam pilkada DKI ini hanya 2 Pasangan calon yakni Ahok-Jarot dan Anis-Sandiaga.

Sebab, jika menganalisa parpol-parpol yang mendukung Agus-Silvi seperti partai Demokrat yang nasionalis, PAN, PKB dan PPP yang Islamis jelas-jelas parpol ini mendukung pemerintahan saat ini yang dipegang oleh PDI-Perjuangan sehingga tidak menutup kemungkinan parpol-parpol yang mengusung Agus-Silvi hanya memecahkan konstelasi politik Anis-Sandiaga yang didukung oleh partai diluar pemerintahan seperti Gerindra dan PKS yang berhaluan Nasionalis dan Islamis.

Pasangan cagub dan cawagub Anis-Sandiaga dan Ahok-Jarot masing-masing memunculkan strategi dalam pertarungannya baik dari program dan visi-misinya. PDI-Perjuangan mengusung Jarot sebagai Cawagub yang notabene adalah kader PDI-Perjuangan begitupun Gerindra yang mengusung Sandiaga Uno sebagai Cawagubnya.

Hanya 2 parpol inilah yang benar-benar mengusung kader-kader terbaiknya untuk bertarung di pilkada DKI Jakarta. Sedangkan parpol-parpol lainnya kurang bernyali untuk mengusung kader-kader terbaiknya bertarung di pilkada DKI 2017. Sehingga hal inilah yang dapat dipastikan bahwa pertarungan pilkada DKI ini hanya bagi PDI-Perjuangan dan Gerindra.

Konstalasi politik pada pilkada DKI 2017 dapat dinilai sebagai strategi batu loncatan dalam pemilu 2019 nanti. Calon petahana Ahok-Jarot tentunya juga menjadi sorotan tajam dalam masa-masa akhir kinerjanya sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur saat ini.

Kepuasan masyarakat juga mempengaruhi kedua pasangan tersebut apakah dapat terpilih kembali atau tidak sama sekali. Sekali lagi, masyarakat DKI lah yang merasakan dan menentukan masa depan kedua pasangan petahana tersebut.

Menilai kepuasaan masyarakat terhadap petahana tentunya tidak perlu menunggu hasil survey dari berbagai LSM semua bisa dinilai dengan realitas yang terjadi dilapangan.

Sepanjang sejarah di Ibu kota Jakarta tidak ada seorang Gubernur yang dilempari batu dan ditolak kedatangannya oleh warganya sendiri. Fenomena atas peristiwa ini sebenarnya sudah menjadi penilaian yang real dalam menilai bagaimana seorang petahana dan bagaimana keinginan masyarakat terhadap sosok petahana tersebut.

Anehnya lagi, ketika hal ini terjadi pada petahana tetapi masih saja banyak parpol yang mendukungnya untuk maju di Pilkada DKI. Pertanyaan adalah apa yang menjadi penilaian para parpol tersebut sehingga mengusung petahana?. Lalu, apakah dalam Pilkada ini para calon yang di usung atas panggilan rakyat atau panggilan mama (Ahok) dan papa (Agus)?

Yang perlu diingatkan adalah parpol-parpol yang mendukung petahana akan menjadi tekanan bathin dalam menghadapi pemilu 2019 yang akan datang untuk mengambil hati dan suara rakyat khususnya di DKI Jakarta.

Sebab, para parpol jelas-jelas telah terjun bebas dalam mengusung petahana yang ditolak oleh warganya sendiri. Tentunya hal ini bukanlah bicara politik semata tetapi jelas bicara moral dalam berpolitik dan juga bukan bicara perpolitikan lokal saja tetapi juga bicara dinamika nasional. Sebab, perpolitikan di Jakarta terkait pilkada 2017 memaksa para petinggi parpol untuk turun gunung dan melancarkan strateginya dalam meraih kemenangan.

Hal inilah yang tentunya menjadi paradigma politik bahwa parpol yang mengusung pasangan petahana akan tumbang pada pemilu 2019 nanti karena sudah mengecewakan hati rakyat terlebih lagi dengan adanya perpecahan pada internal parpol pengusung Petahana karena dinilai parpol pada tingkat kepengurusan pusat terlalu intervensi serta tidak berpihak kepada suara kader tingkat cabang dan ranting dalam memberikan kepercayaannya untuk memenangkan pilkada DKI baik dari strategi maupun pilihan paslonnya.

Oleh: Pengamat Politik Fakta Institut, Adang Taufik Hidayat, S.IP, M.IP

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed