Ini Alasan Pemerintah Pertahankan Presidential Threshold 20–25 Persen

Ini Alasan Pemerintah Pertahankan Presidential Threshold 20–25 PersenPembahasan RUU Pemilu di DPR belum selesai. Lima isu krusial belum tercapai kesepakatan, salah satunya soal presidential threshold.

Hingga sebelum lebaran, belum ada kesepakatan apakah syarat ambang batas perolehan suara parpol untuk pencalonan presiden itu dipertahankan atau dihapus. Yang pasti, pemerintah sudah mematok harga mati bahwa persyaratan itu harus ada.

Versi pemerintah, konsistensi aturan menjadi salah satu alasan mengapa presidential threshold harus tetap ada.

Selain itu, persyaratan tersebut sudah sesuai dengan amanat UUD 1945 sehingga tidak perlu diubah.

Sementara itu, versi sejumlah fraksi di DPR, presidential threshold otomatis terhapus dengan adanya pemilu legislatif dan pemilu presiden serentak.

Mendagri Tjahjo Kumolo menjelaskan dua pokok argumennya.

Pertama, konstitusi hanya menyebutkan bahwa presiden dan wakil presiden dicalonkan parpol atau gabungan parpol sebelum pemilu.

Tidak diatur jelas besaran parpol yang berhak mengusulkannya. ”Itu merupakan kewenangan pembuat undang-undang atau open legal policy,” terang Tjahjo.

Lagi pula, putusan MK yang menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan serentak tidak membatalkan aturan presidential threshold dalam UU sebelumnya.

Yakni, UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres. Itu berarti, ketentuan presidential threshold 20 persen kursi legislatif atau 25 persen suara sah parpol pada pemilu nasional masih tetap sah untuk diberlakukan kembali.

Sebelumnya sempat dirumorkan bahwa pemerintah ngotot mempertahankan presidential threshold sebagai skenario memuluskan petahana.

Apalagi, saat ini beberapa parpol sudah mendeklarasikan dukungan untuk Jokowi pada 2019. Asumsinya, kesempatan bagi calon lain akan semakin kecil jika syarat presidential threshold tetap diberlakukan.

Menanggapi tudingan itu, Tjahjo meyakinkan bahwa presidential threshold tidak untuk menghalangi munculnya capres lain.

Merujuk dua edisi pilpres sebelumnya yang menggunakan presidential threshold, selalu muncul lebih dari satu capres. Bahkan, pada 2009 malah muncul lima pasang capres-cawapres

Dalam penyusunan aturan kali ini, lanjut mantan Sekjen PDIP itu, pemerintah dan pansus RUU Pemilu sepakat mengatur bahwa KPU akan menolak bila sampai muncul hanya satu pasang capres-cawapres.

”Aturan presidential threshold tidak boleh menghalangi munculnya capres lain. Sehingga hampir bisa dipastikan Pilpres 2019 bakal diikuti lebih dari satu paslon,” katanya.

Berdasar hasil Pemilu 2014, sepuluh parpol mendapatkan kursi di DPR. Kursi terbanyak dimiliki PDIP (106) dan paling sedikit dimiliki Partai Hanura (16).

Dengan komposisi yang ada, pada Pemilu 2019 bisa dimunculkan empat paslon presiden dan wakil presiden. Tidak ada parpol yang bisa mengajukan calon sendiri tanpa koalisi.

Kedua, terkait stabilitas politik. Pada tiga edisi pemilu sebelumnya, dukungan parlemen terhadap presiden terpilih tidak pernah sampai menyentuh angka 50 persen + 1.

Alhasil, konsentrasi presiden terpilih terbelah karena masih harus membangun konsolidasi politik dengan partai yang sebelumnya tidak mendukung dia.

Dengan adanya presidential threshold 20–25 persen, Thahjo yakin peluang untuk mendapatkan pemerintahan yang stabil bakal semakin terbuka.

Meski belum teruji, setidaknya pemerintah tidak perlu menggandeng banyak parpol non pendukung dibandingkan bila presidential threshold kurang dari itu atau bahkan nol.[gun]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed