Palu Godam Artidjo Alkostar

Palu Godam Artidjo AlkostarJAKARTA – Mahkamah Agung kini tak ramah terhadap koruptor. Tak ada keringanan hukuman bagi koruptor yang mengajukan perkaranya ke lembaga tersebut, apalagi jika di dalamnya Artidjo Alkostar bertindak sebagai hakimnya. Dia akan menjadi algojo bagi para koruptor tersebut. Sebut saja sejumlah nama yang telah menjadi “korban” dari ketukan palu godamnya, tak kenal pria atau wanita. Tak kenal sipil atau aparat keamanan. Dia selalu memberikan hukuman maksimal bagi koruptor.

Sebut saja Angelina Sondakh, yang divonis 4 tahun penjara menjadi 12 tahun penjara, sesuai dengan tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lalu, ada lagi, penerima suap pengadaan proyek Alquran, Zulkarnaean Djabar, yang divonis 15 tahun penjara. Mantan Dir Lantas Polri Djoko Susilo juga turut merasakan kerasnya palu godam Artidjo dengan 18 tahun penjara, ditambah denda Rp1 miliar, uang pengganti Rp32 miliar, dan hak politiknya dicabut. Berikut sejumlah kasus yang pernah ditangani Artidjo:

1. Terdakwa Kweh Elchoon (warga Malaysia). Kasus: memiliki ekstasi dan sabu ratusan ribu gram. Putusan: 20 tahun penjara (PN Tangerang), 12 tahun penjara (PT Banten), Vonis Mati (MA, 19/4/2013).

2. Terdakwa Tommy Hindratno (pegawai Ditjen Pajak). Kasus: suap Rp280 juta terkait restitusi pajak milik PT Bhakti Investama Tbk. Putusan: 3,5 tahun penjara (Pengadilan Tinggi), 10 tahun (MA, 30/9/2013).

3. Terdakwa Zen Umar (Direktur Utama PT Terang Kita). Kasus: Korupsi dana Askrindo. Putusan: 5 tahun penhara (Pengadilan Tinggi), 15 tahun (MA, 26/9/2013).

4. Terdakwa Ananta Lianggara alias Alung. Kasus: kurir peredaran psikotropika. Putusan: 1 tahun penjara (PN Surabaya dan PT Jawa Timur), 20 tahun penjara (MA, 21/10/2013).

5. Terdakwa Angelina Sondakh (mantan anggota DPR dari Partai Demokrat). Kasus: Korupsi wisma Atlet Sea Games Palembang dan Kemendikbud. Putusan: 4 tahun, 6 bulan (Pengadilan Tipikor Jakarta), 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta dan uang pengganti Rp12,58 miliar dan USD2,35 juta (MA, 20/11/2013).

6. Terdakwa Zulkarnain Djabbar (Pejabat Kemenag). Kasus: Korupsi pengadaan Alquran. Putusan: MA menguatkan putusan pengadilan Tipikor Jakarta yakni 15 tahun penjara, denda Rp300 juta, uang pengganti Rp5,7 miliar.

7. Terdakwa Rahudman Harahap (Wali Kota Medan Non-aktif). Kasus korupsi dana tunjangan penghasilan aparatur pemerintah desa di Kabupaten Tapanuli Selatan tahun anggaran 2005 senilai Rp2,07 milir. Putusan: vonis bebas (pengadilan Tipikor Medan), 5 tahun penjara dan denda Rp500 juta dan uang pengganti Rp480.495.500 (MA, 26/3/2014).

8. Terdakwa Djoko Susilo (Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri). Kasus: Korupsi proyek simulator ujian SIM roda dua dan roda empat serta melakukan tindak pidana pencucian uang. Putusan: MA (4/6/2014) menguatkan vonis PT Jakarta, yaitu 18 tahun penjara, denda Rp1 miliar, uang pengganti Rp32 miliar, dan pencabutan hak politik.

9. Terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS). Kasus: suap impor daging sapi dan tindak pidana pencucian uang. Putusan: 16 tahun penjara (Pengadilan Tipikor Jakarta), 18 tahun penjara dan Pencabutan Hak Politik (MA, 15/9/2014).

10. Terdakwa Aiptu Labora Sitorus (anggota Polisi Sorong, Papua). Kasus: Pemilik rekening gendut Rp1,5 triliun. Putusan: 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta (Pengadilan Tipikor Sorong pada 17 Februari 2014), 15 tahun penjara dan denda Rp5 miliar subsider satu tahun kurungan (MA, 18/9/2014).

Pria kelahiran Situbondo 22 Mei 1949 itu memang dikenal keras dan selalu memberikan hukuman maksimal kepada para terdakwa tindak pidana korupsi. Namanya terangkat setelah memperberat hukuman mantan politisi Partai Demokrat Angelina Sondakh yang semula 4,5 tahun menjadi 12 tahun penjara, serta vonis 10 bulan kepada dokter Ayu untuk kasus malapraktek.

Ketua Muda Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) itu mengibaratkan korupsi seperti penyakit kanker yang terus menggerogoti tubuh. Oleh karenanya, korupsi harus diberantas agar tidak membawa masa depan suram bagi Indonesia.

“Rakyat Indonesia berhak untuk melihat masa depan lebih baik. Koruptor ini membuat masa depan bangsa suram. Kita harus mencerahkan masa depan bangsa ini. Tidak ada toleransi bagi koruptor. Zero tolerance bagi koruptor,” ujar Artijo.

Kendati sering memutuskan hukuman maksimal bagi para koruptor, alumni Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu mengaku tidak bisa memaksakan kehendak kepada hakim lain untuk sependapat denganya sebab hakim memiliki kebebasan yang dilindungi dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun.

“Hakim itu posisinya primus interpares. Dia adalah yang dituakan di antara sesamanya. Maka, di pengadilan, sebutannya adalah ketua dan bukan kepala. Itu artinya, dari atas tidak bisa memberikan instruksi (terkait perkara),” jelasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed