Pentas Perdana Monolog Teater Tan Malaka Digelar Hari Ini

Setelah sekian lama, Monolog Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah akhirnya bisa terwujud. Hampir dua tahun Mainteater mempersiapkan pertunjukan ini. Bagi Mainteater, mengingat Tan Malaka bukan sekadar romantisme masa lalu tetapi juga mencoba menjiarahi pemikiran-pemikiran silam yang masih aktual di hari ini.

Demikian disampaikan oleh Tim Produksi Monolog Teater Tan Malaka, Sahlan Mujtaba dalam keteranganya kepada redaksi, Bandung, Rabu (23/0).

“Tanggal 23 Maret 2016, pentas perdana digelar. Monolog ini akan pentas selama dua hari di Institut Francais Indonesia (IFI) Bandung. Tanggal tersebut sengaja kami pilih karena 53 tahun yang lalu, tepatnya 23 Maret 1963, berdasarkan Keputusan Presiden No.53 Tahun 1963, Sukarno menetapkan Tan Malaka sebagai Pahlawan Nasional. Maka dapat juga dikatakan monolog ini merupakan salahsatu cara mengenang sosok pahlawan yang seringkali luput dari ingatan,” paparnya.

“Tan Malaka merupakan sosok yang istimewa. Kita dapat belajar pada intelektualitas dan karakternya yang luar biasa. Melalui cara kreatif (teater), kami rasa efektif untuk memeriksa isi paling intim dari jiwa manusia. Menggali koleksi ide dan renungan dari sosok yang punggungnya sulit berbungkuk terlebih pada segala bentuk penjajahan,” tambahnya.

Menurut Sahlan, monolog ini bukanlah propaganda idelogi. Apalagi provokasi makar, subversif, atau tetek-bengek lainnya. Monolog ini hanya ingin mengajak khalayak luas memeriksa kembali sosok revolusioner yang karena pemikirannya seringkali ditakuti-dimusuhi-dicurigai-dibenci begitu saja. Sambil abai menggunakan pikiran kritisnya.

“Hal penting dalam monolog ini adalah upaya menghadirkan ruang empati pada sosok Tan Malaka. Empati tidak hanya sebagai tanggapan emosional tetapi juga sebagai sesuatu yang memiliki fungsi kognitif. Sehingga empati memungkinkan kita untuk melampaui batas-batas dunia kita sendiri dan merayakan pikiran yang lebih terbuka,” ujarnya.

Monolog Tan Malaka akan menempatkan panggung sebagai ruang pergumulan keterasingan, kecemasan, kegelisahan, kegeraman, dan kemarahan. Beberapa peristiwa berupaya mengajak kita masuk ke dalam bagian-bagian yang getir. Mendorong penyelidikan terhadap daftar gelap peristiwa masa lampau.

“Meskipun perasaan kita berada dalam kesadaran temporal dan spasial yang berbeda dengan Tan Malaka, rasa empati dapat mengilhami kita berupa imajinasi, intuisi, dan observasi ke dalam sebuah pemahaman dunia yang lebih jauh,” katanya.

“Kita akan menyaksikan Tan Malaka dengan gaya hidup dan pikiran yang mungkin berbeda dengan kita, tetapi melalui proses empati, imajinasi kita dibawa berinteraksi dengannya. Jika abstraksi tanpa tubuh dibiarkan, kita akan kesulitan mendekatkan Tan Malaka ke dalam kehidupan kita. Akhirnya, kita terisolasi dalam ruang pribadi, di mana pikiran picik riskan bersemayam,” katanya lagi.

Sahlan menerangkan, empati dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan ruang sosial alternatif. Meskipun kita tidak terbiasa dengan latar belakang tertentu, budaya, dan ide-ide Tan Malaka yang terungkap di panggung, empati akan membantu pemahaman kita. Empati diperlukan, selain untuk mengidentifikasi, pun dapat menangkap nilai-nilai yang melekat dalam pengalaman Tan Malaka tanpa perlu juga membabi buta mengkultuskan segala pengalaman atau tindakannya.

“Empati bukanlah kepastian melainkan kemungkinan. Penonton barangkali mengalami empati dengan cara beragam, dan masing-masing mungkin dipengaruhi pelbagai tingkat dan derajat kepentingan. Tanggapan penonton tidak pernah memunculkan keseragaman. Justru sebaliknya, pengalaman apresiasi dapat mencapai manfaatnya ketika tanggapan penonton beragam. Di sanalah keindahannya.
Kami kira penonton tidak begitu lugu menganggap peristiwa di atas panggung adalah ‘nyata’. Meskipun peristiwa yang terjadi memiliki hubungan yang ketat dengan kenyataan (sejarah). Tapi kami percaya penonton tetap menggunakan analisis kritisnya. Klaim Brecht yang menyatakan bahwa ketika penonton berempati, mereka berhenti berpikir tampaknya mesti diverifikasi kembali,” paparnya.

“Empati harus dipahami sebagai pengalaman penonton dalam merespons tindakan, emosi, perasaan, atau keadaan yang terjadi di atas panggung. Respon yang timbul bisa berupa ‘reaksi afektif atau ‘reaksi kognitif. Pertama, di mana penonton mengalami perasaan serupa (meskipun tidak sepenuhnya sama) dengan objek kontemplasi. Sedangkan yang kedua menunjukkan cara untuk mengetahui tanpa mengalami perasaan yang sama. Di mana penonton memahami objek tontonan dalam rangka meningkatkan pemahaman,” demikain Sahlan Mujtaba.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *