Batik akan Bertahan Bila Dijaga oleh Masyarakat

Batik akan Bertahan Bila Dijaga oleh Masyarakat Perkembangan zaman mengantarkan batik memasuki era baru. Batik bukan hanya dikenal di daerah dan orang Jawa, melainkan menyebar hingga ke daerah lain di Indonesia. Namun ternyata perluasan ini dipandang skeptik oleh pengamat mode.

“Yang saya sidikit terganggu kalau daerah yang sebenarnya tidak punya batik juga budayanya, namun terpaksakan untuk punya batik,” kata Anton Diaz, pengamat mode, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

“Misalnya Papua, mereka membuat batik dan sudah menjalani tekniknya juga, namun saya melihat tidak memiliki nyawa. Tapi ya menurut saya biarkan saja, kalau memang masyarakatnya suka batik itu akan berkembang dan memiliki nyawanya sendiri. Kalau tidak, akan mati,” lanjut Anton.

Menilik dari segi sejarah, Papua tidak memiliki riwayat langsung dengan budaya membatik seperti di Jawa. Batik Papua diketahui baru muncul ketika Program PBB untuk Pembangunan (UNDP) memberikan bantuan kepada Pemerintah Indonesia pada 1985 untuk membangun kebudayaan Indonesia bagian timur.

Bantuan teknis tersebut kemudian diwujudkan dengan mengirim perajin batik dari Jawa untuk melatih pembuatan batik di tanah Papua. Hasil pelatihan tersebut kemudian melahirkan beberapa motif yang dikenal sebagai bagian batik Papua, yaitu cendrawasih, sentani, tifa honai, Asmat, dan Kamoro.

Anton menilai perkembangan zaman yang memungkinkan bermunculan berbagai macam batik dan modifikasinya adalah hal lumrah. Beberapa daerah seperti Bengkulu dan Padang juga memiliki sejarak ketertarikan dengan batik, namun bagi Anton, pilihan masyarakatnya sendiri untuk tidak menjadikan batik tersebut sebagai bagian utama dari kebudayaan setempat.

Menurut Anton, salah satu daerah di luar Jawa yang memiliki keterkaitan baik sejarah maupun kebudayaan membatik adalah Jambi. Di tanah Melayu tersebut, dahulu ada permainsuri asal Jawa yang menikah dengan raja di Jambi kemudian membawa dayang-dayangnya ke daerah itu.

Bukan sekadar menikah dan membawa dayang asal Jawa, kebudayaan di Jawa pun ikut terbawa salah satunya adalah batik. Kegiatan itu lantaran menjadi kebiasaan yang berujung budaya turun-menurun di Jambi, terutama keturunan Sultan dan golongan ningrat. Baru pada dekade 1980, batik Jambi diperkenalkan secara massal kepada masyarakat.

“Kalau sekarang banyak daerah bikin batik ya biarkan saja, nanti kalau masyarakatnya sendiri tidak suka akan mati perlahan. Ini karena tidak ada yang beli, sehingga ujung-ujungnya tidak akan diproduksi lagi,” kata Anton.

“Sekarang batik sudah menjadi milik bangsa Indonesia. Kalau masyarakatnya suka dan menjaga, ia akan tumbuh dan memiliki nyawanya sendiri,” lanjut Anton.

Lihat juga:Batik, Kiprah Sang Penggawa vs Ketidakpahaman Awam

Ironi Ketidakpahaman Batik

Meski sudah menjadi milik bangsa Indonesia, namun ada sebuah ironi yang terjadi dengan status kepemilikan batik. Anton menilai bahwa semakin beragamnya batik tidak diikuti dengan pemahaman mendalam terhadap warisan peradaban tersebut.

Rasa ‘gemas’ Anton terutama ditujukan pada kain yang banyak disebut orang, batik cetak atau print. Anton menilai batik print tidak sesuai kaidah dan pakem batik, serta filosofi batik itu sendiri.

Kondisi ini dipaparkan Anton sebagai akibat ‘hilang’-nya hubungan batik dengan masyarakat pada era dekade 1970-1980. Kala itu, batik dianggap hanya pantas dikenakan mereka yang memandang status pejabat atau identik dengan pegawai negeri sipil.

Hingga awal abad ke-20, batik masih menjadi hal yang lekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Semua golongan memiliki bahkan membuat batiknya sendiri. Bila golongan bawah tidak sanggup memiliki batik seperti golongan keraton atau bangsawan, maka mereka memilih membuat sendiri.

Atas kondisi itulah, tercipta berbagai macam jenis batik bahkan berdasarkan pekerjaan si pembuat batik. Misalnya adalah batik nelayan, batik petani, dan sebagainya.

“Ibarat kata, tadinya yang menyukai batik hanya 50 persen dari masyarakat saat ini naik 80 persen. Namun belum diimbangi pengetahuan masyarakat itu sendiri. Sadarkah yang dibeli itu kain batik tulis, cap, atau kain yang terlihat seperti batik? Kebanyakan orang hanya memilih berdasarkan nyaman atau tidak,” kata Anton.

“Kalau orang mengerti batik, ia akan bisa melihat bahwa harga Rp500 ribu untuk batik tulis itu tergolong murah, dan bagi batik cap atau print itu mahal,” lanjutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *