Melacak Jejak Seni Rupa Indonesia

Melacak Jejak Seni Rupa Indonesia Pameran bertajuk Jati Diri: Periskop Seni Rupa Indonesia menjadi sebuah pengingat pada publik akan ingatan 40 tahun lalu. Koleksi yang dipamerkan merupakan koleksi pertama, awal berdirinya Museum Seni Rupa dan Keramik di Jakarta.

Saat itu, koleksi yang ada merupakan sumbangan dari beberapa kolektor, di antaranya pelukis Basoeki Abdullah, dan Menteri Luar Negeri, Adam Malik. Koleksi tersebut kemudian membawa makna penting dari sisi sejarah seni rupa Indonesia.

Menurut beberapa catatan, tahun 1900-an, karya seniman Indonesia didominasi semangat penafsiran ‘aku’ dan ‘keindonesiaan’.

Perubahan situasi turut mengubah teknik dan tujuan berkarya. Pada masa kolonialisme Belanda, misalnya, seniman Indonesia memelajari teknis melukis kesenian modern Barat. Situasi kemudian berubah ketika periode penjajahan Jepang, seniman melihat seni sebagai media propaganda.

Seiring waktu berjalan waktu, perubahan juga terjadi pada masa perjuangan. Sejumlah seniman lalu merekam berbagai kejadian dengan melakukan sketsa sebagai dokumentasi.

Hal ini tampak dari beberapa sketsa yang dibuat Henk Ngantung misalnya. Ia menjadi seniman yang mendokumentasikan berbagai kejadian penting, khususnya yang berkaitan dengan aktivitas Soekarno sebagai presiden dalam sketsa.

Selain itu, Henk juga mengabadikan sejumlah peristiwa, seperti ‘Bung Hatta dan Dr. Van Hook’, ‘Hotel Linggarjati’, dan ‘Penandatanganan Naskah’. Ia pun membuat sketsa potret ‘Achmad Yani’ dan ‘Sutan Syahrir’.

Jejak sejarah

Sejarah seni rupa Indonesia, tak bisa lepas dari peran seniman Sudjojono yang pada 1970-an memberi pengaruh pada rumusan ‘Jiwa Kethok’ atau ‘Jiwa Tampak’yang menitikberatkan pada penemuan spirit pribadi seniman yang keindonesiaan.

Lukisan-lukisannya, seperti High Level, yang dibuat 1975 dapat dikatakan salah satu yang menonjol. Lukisan ini menggambarkan suasana pameran seni dengan pengunjung beragam dari mulai yang mengenakan jas resmi hingga safari yang menjadi penanda bagi pria kalangan atas. Seorang sosok wanita dengan gaun tanpa lengan dan kalung yang melingkar makin mempertegas kesan tersebut.

Spirit Indonesia yang paling kentara tampak dari lukisannya berjudul Maka Lahirlah Angkatan 66, yang dibuat pada 1966. Di dalamnya Sudjojono menggambarkan satu sosok laki-laki berkemeja, jaket merah dengan cat dan kuas di tangan. Sebagai penanda waktu dan tempat, ia memberi latar gedung-gedung, dan tulisan di tembok yang menyatakan ‘bubarkan PKI’.

Lewat karyanya ini, Sudjojono membawa ingatan pada kenangan akan Indonesia era ‘66, ketika situasi politik Indonesia masih dinaungi peristiwa yang berkaitan dengan PKI serta imbasnya. Termasuk pada spirit berkarya seniman saat itu.

Spirit keindonesiaan juga tampak dari dua karya pelukis Batara Lubis dan Emiria Sunassa. Batara mengabadikan budaya Indonesia dalam lukisan bertajuk Pengantin Mandailing, pada 1971. Sementara, Emiria mengabadikan Pengantin Dayak, yang tidak dicantumkan tahun pembuatannya.

Bicara soal pengantin, Hendra Gunawan malah menghadirkan Pengantin Revolusi, yang ia buat pada 1956. Di dalamnya tampak pengantin pria yang berkostum tentara, sementara wanita mengenakan busana perkawainan adat Betawi. Mengaitkan dengan judulnya, kita diajak untuk melihat bagaimana pernikahan di saat itu, dalam suasana revolusi.

Lukisan lain yang tak kalah menarik adalah karya Harijadi Sumadidjaja berjudul ‘Perkapalan’ yang dibuat pada tahun 1966 di atas kanvas berukuran 38 x 53 cm menggunakan cat minyak.

Lukisan itu menggambarkan dua pria yang duduk di lantai sebuah ruangan. Salah seorang di antaranya terlihat mengenakan sarung dan menyesap rokok menggunakan pipa. Sementara tangan kanannya memegang kuas di hadapan sebuah kanvas.

Koleksi pameran

Selain lukisan, pameran ini turut menghadirkan koleksi arsip, dokumentasi, hasil wawancara, dan katalog pameran lama yang dipajang dan dilengkapi dengan penjelasan sejarahnya.

Tak hanya itu, di sini juga dipajang lagi lukisan-lukisan bertema abstrak milik Srihadi yang berjudul ‘Cakrawala’, milik Ahmad Sadali yang berjudul ‘Perahu di Pulau Bali’, dan lainnya.

Di ruangan yang berbeda, pameran menghadirkan lukisan dengan tema potret dan sketsa. Di sini terdapat lukisan ‘Wanita di Atas Bukit’ karya Sudjojono, ‘Potret Diri’ dan ‘Topeng’ karya Affandi, ‘Potret Diri’ dan ‘Potret Ibu’ karya Trubus, ‘Ibu Menyusui’ karya Dullah, ‘Potret Adam Malik’ karya Basoeki Abdullah, dan ‘Potret Diri’ karya Harijadi Sumadidjaja.

Selain itu, ditampilkan juga lukisan-lukisan potret karya mantan Gubernur DKI Jakarta Henk Ngantung, yakni yang berjudul ‘Penjual Ikan’ dan ‘Abang Becak’.

Menyusuri ruang pameran yang digagas Yayasan Mitra Museum Jakarta (YMMJ) ini seperti melacak kembali jejak sejarah seni rupa Indonesia yang menggugah dan menginspirasi.

Berlangsung dari 12 Oktober hingga akhir Januari 2017, melihat-lihat 25 lukisan dan sepuluh sketsa dari 16 seniman, yang dapat dikatakan sebagai tokoh perintis seni rupa Indonesia, ini menjadi pengalaman yang memberi pencerahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *