Tragedi Pemilu 2019, Ratusan KPPS Meninggal

Tragedi Pemilu 2019, Ratusan KPPS MeninggalAksi.co – Terserah mau dikatakan orang, sekedar ikut-ikutan atau ‘basi’ sekalipun! Faktanya, hati nurani penulis dan puluhan rekan kerap bertanya. Mengapa Pemilu ‘serentak!’ 17 April 2019, yang katanya paling rumit sedunia, melibatkan sekitar 192 juta pemilih, sekitar 800 ribu Tempat Pemungutan Suara, menghabiskan dana sekitar Rp. 25 T, memilih satu dari dua calon presiden, melibatkan 16 partai di 80 dapil dengan mempertaruhkan 7.968 calon legislatif. Rumitnya, pemilih sendiri harus mencoblos di 5 lembar kertas suara. Ternyata, sepuluh hari (27/4/2019) setelahnya, sedikitnya memakan 276 korban petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) meninggal dunia! Lainnya, ribuan petugas KPPS menderita sakit. Khawartinya, angka korban ini bagaimana membendung atau mencegahnya? Inilah pangkalnya …

Diluar isu quick count yang masih berpolemik antara kubu Jokowi vs Prrabowo, rupanya di media luar negeri soal tumbangnya dua ratus lebih korban petugas KPPS menjadi perhatian mereka. Ini salah satunya seperti dimuat harian Manichi Japan (26/4/ 2019) ‘the number of election workers and policemen who died from fatigue and other causes during and after last week’s general election in Indonesia has increased to 276, up from 134 reported earlier’.

Tersebab pemberitaan dari Mainichi Japan di atas, salah seorang rekan penulis di Okinawa yang sudah dua tahun lebih tak berkontak-ria, sepertinya mendadak menyempatkan diri mengklarifikasi kejadian massif ini. Benarkah hal ini terjadi? Mengapa bisa terjadi? Tindakan apa yang saat ini sedang dilakukan pemerintah? Bagaimana dengan upaya pencegahan, bagi yang sakit adakah perlakuan khusus? Adakah semacam santunan dari pemerintah untuk yang meninggal dan sakit ini? Dan, sederet pertanyaan mendasar lainnya…

Spontan menjawab serbuan pertanyaan ini, penulis membenarkannya, sambil memberi tahu penyebab, dan sejumlah tindakan umum lainnya. Dijelaskan, bahwa pemerintah dalam hal ini KPU dan kementerian serta instansi terkait lainnya, sudah melakukan langkah-langkah taktis dan normatif. Termasuk dijelaskan tentang biaya santuan bagi korban yang meninggal dan sakit dari pemerintah sebagai langkah darurat.

Santunan, Berapa?

Ironinya, sekaligus agak terasa ngenes dan tersentak, kalau boleh dikatakan demikian. Ini terjadi, tatkala rekan dari Okinawa Jepang ini menelisik – kira-kira berapa besaran santunannya? Sejenak penulis mengambil nafas agak dalam, sebelum menjawab lebih tuntas tentang hal yang sensitif dan rumit ini. Pasalnya, pemerintah dalam setiap kegiatan yang melibatkan ratusan ribu rakyat seperti Pemilu 2019 kali ini – lazimnya, jarang sekali menempatkan risk management hingga sejauh ini, seperti asuransi, dan tunjangan lainnya. Setahu penulis, para petugas KPPS ini hanya memperoleh honor harian kisaran Rp. 550.000 per orang khusus untuk puncak acara.

Spontan penulis menjawab pertanyaan terakhir yang menurut penulis diprediksi akan sensitif dan rumit dimata penanya ini. Akhirnya, dijawab hanya berdasar pemberitaan yang sudah beredar. Santunan bagi petugas KPPS yang meninggal besarannya sekitar Rp. 35 hingga Rp. 50 juta per orang. Sedangkan bagi yang sakit, ‘katanya’ akan atau sudah ditanggung oleh BPJS, tentu dengan syarat-syarat tertentu pula. Demikian jawaban penulis, yang dikomentarai “hmmm…”, penuh makna.

Tanpa dinyana, sejurus kemudian dalam kontak ini sang Penanya rupanya menghitung cepat dengan mengkonversi kurs rupiah dengan mata uang Yen yang termasuk mata uang kuat di dunia. “Mengapa ya, menurut saya santunan ini terbilang kecil dan tidak seimbang dengan pengabdian mereka? Bagaimana dengan kelangsungan keluarganya?

Sejenak dalam dialog ini seakan ada jeda, penulis demi ‘harga diri bangsa’ menjawab secara diplomatis dengan nuansa low profile:”Demikianlah adanya, kondisi ini bagi bangsa Indonesia, merupakan kejadian yang sangat-sangat luar biasa. Semua ini diluar dugaan, dengan segala daya pemerintah telah berusaha menanggulanginya. Tentu, bila dibandingkan dengan kondisi ekonomi negara Anda mungkin bukan bandingannya.”

Akhirnya dengan pamungkas jawaban di atas, rupanya sang Rekan dari Okinawa yang begitu perhatian terhadap progres demokrasi di Indonesia, rupanya bisa memakluninya.

“Saya percaya, rasa kemanusiaan bangsa Indonesia tidaklah diragukan. Persoalan besar kecilnya santunan, saya amat memaklumninya. Yang utama saya kagumi adalah upaya bangsa Anda dalam menegakkan demokrasi, sangat kuat. Teruskanlah upaya ini, dan saya nantikan kabar sukses selanjutnya. Intinya, saya turut berduka cita atas korban pada Pemilu 2019 ini.”

Nah, inilah secuplik kisah tentang korban ‘penegakan demokrasi’ yang gaungnya bergema hingga ke manca negara. Doa penulis selain turut berduka bagi ‘keluarga besar’ KPPS, semoga ‘eksperimen’ demokrasi yang berlangsung di negeri kita kali ini apa pun yang terjadi bisa meaih sukses. Utamanya, menjelang atau sesudah pengumuman Pemilu 2019 pada 22 Mei mendatang, tujuan kita berdemokrasi tercapai.

Penutupnya, mengikuti saran banyak pihak, pemilu mendatang hendaknya dilakukan secara terpisah antara Pileg dan Pilpres. Reskonya, sudah banyak kita alami resikonya. Model Pemilu 2019 yang melelahkan dan beresiko tinggi– cukup sekali saja, jangan dua kali ya? Rakyat kapok !

 

Penulis Harri Safiari wartawan senior di Kota Bandung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *